Assalamu’alaikum,
teman kecil.
Izinkan
aku merindu, bersamaan dengan bulan yang muncul dari peraduan.
Izinkan
aku merindu, sejenak saja di bawah bintang kemintang.
Tidak
lagi kudapati kabarmu sejak setahun terakhir. Hai, teman kecil. Bolehkah kuajak
kau sebentar memutar waktu? Akan kubawa kau pada lembar catatan awal, pertama kali kita bersua.
Mari
teman kecilku, ingatkah kau pada gedung mulia, tempat kita sama-sama belajar
mendalami agama. Tempat kita menghafal ayat-ayat pada juz 30 secara bersamaan?
atau beberapa hadis sehari-hari. Kita tergabung dalam grup nasyid.
Mendengungkan lagu bersama tabuhan rebana. Aku yakin kau masih mengingatnya.
Mari
teman kecilku, kuceritakan padamu tentang persawahan tempat kita menghabiskan
waktu. Jam 12 bolong, masih asyik terbenam dengan irigasi yang tidak jarang terisi
ikan atau beberapa tutut dengan cangkangnya yang sedikit muncul ke permukaan.
Mari
teman kecilku, kubawa kau ketika kita menyisir arena persawahan dengan sepeda.
Walau kadang tersendat bebatuan atau rantai yang tiba-tiba lepas. Tapi, dengan
itu kita piawai memperbaikinya.
Baiklah
teman kecilku. Mari kita beristirahat sejenak. Memberi jeda yang sebetulnya
tetap berlanjut koma. Bayangkan dirimu tengah di rindang pohon tempat kita
berteduh kala panas menyengat atau ketika terguyur hujan lebat. O, ya, poskamling
kini telah berubah lebih rekat dengan batu bata. Kasihan adik-adik kita tak
menikmati nikmatnya bangunan dari kayu yang dihimpitkan dengan pohon ini. Kita
memanjat dan duduk di antara cabang yang dipastikan kuat menahan. Lagi, aku
yakin kau masih mengingatnya.
Kuceritakan
padamu air sungai yang kini keruh. Populasi ikan menurun. Habitat mereka
terancam oleh pembangunan perumahan di sini. Adik-adik kita tak sempat
menikmati. Belum lagi ceceran sampah plastik tergenang terbawa arus sungai.
O,
ya kabar baik untukmu. Jalan umum di sini sudah diperbaiki. Tapi, kendaraan
bermotor terkadang ngebut tidak keruan. Orang-orang lebih cepat mengendarai
sepeda. Tidak seperti kita yang merasakan banyak gundukan batu kapur.
Teman
kecilku, bagaimana keadaanmu sekarang? Semoga tuturan dariku membuatmu tenang
dan mengenang. Semoga suatu saat kau membaca rentetan kata, uraian kalimat dari
teman lamamu yang seringkali curhat tentang Mr. X. Kau pernah bilang, amat
bosan mendengar ceritaku tentang laki-laki ingusan itu. Tidak, teman. Sejahat
apapun dia menyakitiku, ia tetap bagian dari masa lalu. Bagian dari sejarah
yang sekarang aku ceritakan kembali. Sekarang dia tumbuh gagah dan tampan
sebagai pekerja di kota besar. Kami tidak lagi berbicara satu sama lain.
Memilih diam dan membenarkan bahwa bersahabat dengan masa lalu bukan hal mudah.
Butuh penerimaan dan pemahaman. Aku selalu belajar bagaimana cara mengikhlaskan
bukan sebatas kalimat.
Baiklah,
aku berjanji tidak lagi membahas dia.
Kecuali kau memintanya. Tarik napas pelan-pelan. Lalu embuskan. Sekarang kuajak
kau pada lembaran kedua. Kau boleh membacanya nanti selepas tumpukan tugasmu
tuntas. Anggap saja ini sebagai dongeng pengantar tidur.
Aku
rindu, padamu. Terlebih saat bulan Ramadan kemarin. Terdengar petasan meledak
di mana-mana. Ada petasan korek, tikus, jagung, roket, air mancur dan kentut.
Aku hanya memerhatikan dari kejauhan dan berbisik pada angin, “Aku pernah ada
di situasi ini.” Di mana uang Rp 1.500,00 tapi bisa kunikmati semua petasan
tesebut. Ya, sebab kebersamaan yang meringankan.
Ketika
salat tarawih seharusnya kita khusyuk, bukan? Tapi, kita malah membawa jajanan
ringan dan es teh yang dibeli sebelum salat dimulai. Kita asyik bercanda dan
kemudian dimarahi orang dewasa. Kita datang limabelas menit setelah azan magrib
dan berbuka puasa. Kemudian, menggelar terpal untuk kaum hawa yang hendak salat.
Bolak-balik ke tempat wudu. Main air. Sungguh, teman. Itu kembali kulihat tiap
Ramadan datang. Adik-adik kecil seakan memainkan lakon sebagai kita.
Apa
yang kita perbuat di rumah-Nya sepuluh tahun silam memang tidaklah baik. Musala
tempat beribadah. Bukan tempat bercanda gurau. Kuharap ini pun terjadi padamu. Berkat
itu kita rajin, bukan? Ikut pengajian rutin dari senin sampai jum’at di Taman
Pendidikan Al-Qur’an dan selepas tamat sekolah dasar kita pun tergabung dalam
pengajian tiap sabtu malam. Turut andil di kepanitiaan perayaan hari besar
islam. Aktif sebagai pengurus remaja musola dan karang taruna. Dan kau tahu, sekarang
semua itu Alhamdulillah masih kurasakan. Di sini aku menemukan teman-teman salihah
yang mengajakku datang kajian. Ah, bukankah itu suatu kenangan yang baik untuk
diingat?
Mari
teman kecilku, kuharap kau tidak lupa dengan serumpun daun bayam-bayaman yang
biasa kita iris untuk masak-masakan. Ia masih tumbuh di sana. Adik-adik kita
meneruskan kebiasaan ini, loh. Lagi, aku hanya menatap dan bersandar di pagar
rumah. Kembali berbisik pada angin, “Aku pernah ada di situasi ini.”
Dan
lagi, aku merindukanmu, teman kecil. Ketika kita sama-sama memilih membungkam, mengunci
mulut sebab kesalahpahaman atau tidak keluar rumah dan ditanya orangtua, “Lagi
berantem, ya?” Namun kita akur dengan
sendirinya. Entah aku atau kau yang memulai.
Deretan
kata ini belum cukup mengobati kerinduan. Hanya sebatas menyilakanmu sejenak
rehat dari kesibukan. Akan kupasang pendengaran baik-baik saat kau tiba dari
perantauan. Cerita kehidupan seperti apa yang berlalu tanpa keberadaanku.
Terimakasih
telah menjadi bagian terindah dalam perjalanan kehidupanku. Menjadi teman
pendukungku. Menjadi pengisi masa kecilku. Semoga kesehatan dan kebahagiaan
selalu menyertaimu.
Dari
teman kecilmu,
Wassalamu’alaikum.
Naskah
“Surat Cinta” ini didedikasikan untuk mengikuti Lomba Menulis Surat Cinta dari catatanpringadi.com dan Cantik, Teman Kecilku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar