Pages - Menu

Pages - Menu

Pages

Kamis, 06 Juli 2017

"Teruntuk Teman Kecilku"



Assalamu’alaikum, teman kecil.

Izinkan aku merindu, bersamaan dengan bulan yang muncul dari peraduan.

Izinkan aku merindu, sejenak saja di bawah bintang kemintang.

Tidak lagi kudapati kabarmu sejak setahun terakhir. Hai, teman kecil. Bolehkah kuajak kau sebentar memutar waktu? Akan kubawa kau pada lembar catatan awal, pertama kali kita bersua.

Mari teman kecilku, ingatkah kau pada gedung mulia, tempat kita sama-sama belajar mendalami agama. Tempat kita menghafal ayat-ayat pada juz 30 secara bersamaan? atau beberapa hadis sehari-hari. Kita tergabung dalam grup nasyid. Mendengungkan lagu bersama tabuhan rebana. Aku yakin kau masih mengingatnya. 

Mari teman kecilku, kuceritakan padamu tentang persawahan tempat kita menghabiskan waktu. Jam 12 bolong, masih asyik terbenam dengan irigasi yang tidak jarang terisi ikan atau beberapa tutut dengan cangkangnya yang sedikit muncul ke permukaan. 

Mari teman kecilku, kubawa kau ketika kita menyisir arena persawahan dengan sepeda. Walau kadang tersendat bebatuan atau rantai yang tiba-tiba lepas. Tapi, dengan itu kita piawai memperbaikinya.

Baiklah teman kecilku. Mari kita beristirahat sejenak. Memberi jeda yang sebetulnya tetap berlanjut koma. Bayangkan dirimu tengah di rindang pohon tempat kita berteduh kala panas menyengat atau ketika terguyur hujan lebat. O, ya, poskamling kini telah berubah lebih rekat dengan batu bata. Kasihan adik-adik kita tak menikmati nikmatnya bangunan dari kayu yang dihimpitkan dengan pohon ini. Kita memanjat dan duduk di antara cabang yang dipastikan kuat menahan. Lagi, aku yakin kau masih mengingatnya.

Kuceritakan padamu air sungai yang kini keruh. Populasi ikan menurun. Habitat mereka terancam oleh pembangunan perumahan di sini. Adik-adik kita tak sempat menikmati. Belum lagi ceceran sampah plastik tergenang terbawa arus sungai.

O, ya kabar baik untukmu. Jalan umum di sini sudah diperbaiki. Tapi, kendaraan bermotor terkadang ngebut tidak keruan. Orang-orang lebih cepat mengendarai sepeda. Tidak seperti kita yang merasakan banyak gundukan batu kapur. 


Teman kecilku, bagaimana keadaanmu sekarang? Semoga tuturan dariku membuatmu tenang dan mengenang. Semoga suatu saat kau membaca rentetan kata, uraian kalimat dari teman lamamu yang seringkali curhat tentang Mr. X. Kau pernah bilang, amat bosan mendengar ceritaku tentang laki-laki ingusan itu. Tidak, teman. Sejahat apapun dia menyakitiku, ia tetap bagian dari masa lalu. Bagian dari sejarah yang sekarang aku ceritakan kembali. Sekarang dia tumbuh gagah dan tampan sebagai pekerja di kota besar. Kami tidak lagi berbicara satu sama lain. Memilih diam dan membenarkan bahwa bersahabat dengan masa lalu bukan hal mudah. Butuh penerimaan dan pemahaman. Aku selalu belajar bagaimana cara mengikhlaskan bukan sebatas kalimat.

Baiklah, aku berjanji tidak lagi membahas dia. Kecuali kau memintanya. Tarik napas pelan-pelan. Lalu embuskan. Sekarang kuajak kau pada lembaran kedua. Kau boleh membacanya nanti selepas tumpukan tugasmu tuntas. Anggap saja ini sebagai dongeng pengantar tidur. 

Aku rindu, padamu. Terlebih saat bulan Ramadan kemarin. Terdengar petasan meledak di mana-mana. Ada petasan korek, tikus, jagung, roket, air mancur dan kentut. Aku hanya memerhatikan dari kejauhan dan berbisik pada angin, “Aku pernah ada di situasi ini.” Di mana uang Rp 1.500,00 tapi bisa kunikmati semua petasan tesebut. Ya, sebab kebersamaan yang meringankan.

Ketika salat tarawih seharusnya kita khusyuk, bukan? Tapi, kita malah membawa jajanan ringan dan es teh yang dibeli sebelum salat dimulai. Kita asyik bercanda dan kemudian dimarahi orang dewasa. Kita datang limabelas menit setelah azan magrib dan berbuka puasa. Kemudian, menggelar terpal untuk kaum hawa yang hendak salat. Bolak-balik ke tempat wudu. Main air. Sungguh, teman. Itu kembali kulihat tiap Ramadan datang. Adik-adik kecil seakan memainkan lakon sebagai kita. 

Apa yang kita perbuat di rumah-Nya sepuluh tahun silam memang tidaklah baik. Musala tempat beribadah. Bukan tempat bercanda gurau. Kuharap ini pun terjadi padamu. Berkat itu kita rajin, bukan? Ikut pengajian rutin dari senin sampai jum’at di Taman Pendidikan Al-Qur’an dan selepas tamat sekolah dasar kita pun tergabung dalam pengajian tiap sabtu malam. Turut andil di kepanitiaan perayaan hari besar islam. Aktif sebagai pengurus remaja musola dan karang taruna. Dan kau tahu, sekarang semua itu Alhamdulillah masih kurasakan. Di sini aku menemukan teman-teman salihah yang mengajakku datang kajian. Ah, bukankah itu suatu kenangan yang baik untuk diingat?

Mari teman kecilku, kuharap kau tidak lupa dengan serumpun daun bayam-bayaman yang biasa kita iris untuk masak-masakan. Ia masih tumbuh di sana. Adik-adik kita meneruskan kebiasaan ini, loh. Lagi, aku hanya menatap dan bersandar di pagar rumah. Kembali berbisik pada angin, “Aku pernah ada di situasi ini.”

Dan lagi, aku merindukanmu, teman kecil. Ketika kita sama-sama memilih membungkam, mengunci mulut sebab kesalahpahaman atau tidak keluar rumah dan ditanya orangtua, “Lagi berantem, ya?”  Namun kita akur dengan sendirinya. Entah aku atau kau yang memulai.

Deretan kata ini belum cukup mengobati kerinduan. Hanya sebatas menyilakanmu sejenak rehat dari kesibukan. Akan kupasang pendengaran baik-baik saat kau tiba dari perantauan. Cerita kehidupan seperti apa yang berlalu tanpa keberadaanku. 

Terimakasih telah menjadi bagian terindah dalam perjalanan kehidupanku. Menjadi teman pendukungku. Menjadi pengisi masa kecilku. Semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu menyertaimu. 

Dari teman kecilmu,

Wassalamu’alaikum.

Naskah “Surat Cinta” ini didedikasikan untuk mengikuti Lomba Menulis Surat Cinta dari catatanpringadi.com dan Cantik, Teman Kecilku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar